Secretshowforjapan, BANDUNG – Tidak ada salahnya jika kita belajar dari negara lain dalam menerapkan aturan main di perguruan tinggi, khususnya bagi penyandang disabilitas. Di University of Edinburgh (UoE) Skotlandia misalnya, peraturan perlakuan terhadap calon mahasiswa penyandang disabilitas bersifat terintegrasi dan selalu inovatif.
Demikian catatan penting lainnya dari perjalanan tiga dosen muda ilmu komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) selama lebih dari seminggu di Skotlandia, tepatnya di UoE 4.-8. Berbaris. Kegiatan ini merupakan implementasi dari hibah bertajuk ‘UK-ID Disability Inclusion Partnership Grant’ dari British Council Indonesia.
Saat berada di UoE, tim konferensi dipandu oleh Profesor Dr John Ravenscroft dan Elizabeth McCann dari Moray House School of Education and Sport (MHSES), yang merayakan hari jadinya yang ke-175 tahun ini.
Sambutan dari para staf pun memberikan rasa hangat di tengah suhu 0 derajat di kota Edinburgh. “Di Skotlandia, jika sekolah atau kampus menolak calon siswa penyandang disabilitas, itu merupakan pelanggaran, ilegal. Jadi suka atau tidak, kita harus melakukannya dan itulah mengapa universitas dan sekolah tidak bisa bekerja sendiri”. ujar Guru Besar UAI Cut Meutia Karolina yang berkunjung ke Edinburgh bersama Edoardo Irfan dan Ketua Program Studi Komunikasi UAI Gusmia Arianti.
Di Republika, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi UAI Gusmia Arianti mengatakan kunjungan ke Skotlandia sangat penting tidak hanya bagi UAI, namun juga bagi perguruan tinggi di Indonesia pada umumnya. Beliau menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bekal penting untuk mempersiapkan kita menjadi kampus yang beradaptasi dengan penyandang disabilitas.
”Kedepannya kami juga bisa membagikannya kepada masyarakat pada umumnya. “Kami belajar di institusi yang tepat karena MHSES menempati peringkat pertama di Skotlandia dan peringkat 13 dunia untuk pendidikan,” ujarnya.
Sementara itu, Edoardo Irfan mengatakan pendidikan tinggi ramah disabilitas di Skotlandia lebih dari sekedar penerapan peraturan. Dikatakannya, kampus-kampus dan sekolah-sekolah Skotlandia telah lama menerapkan peraturan tersebut dengan serius, fokus dan bersinergi dengan kelompok kepentingan yang luar biasa.
“Pendidikan inklusif benar-benar sebuah budaya,” kata Edo. Di sisi lain, di Skotlandia, negara bagian menawarkan insentif kepada sekolah atau perguruan tinggi yang menerima siswa penyandang disabilitas. Dengan begitu, lanjutnya, pengelola kampus atau sekolah diminta menciptakan lingkungan yang mendukung penuh disabilitas.
“Makanya mereka menjauh dari kebutuhan dasar persahabatan. Misalnya saja soal definisi, di Skotlandia sudah ada perluasan definisi disabilitas. ‘Kesehatan mental, atau masalah mental siswa yang belajar l’ , mereka tergolong difabel,” imbuh Edo.
Dalam keterangan yang diterima Republika dari UAI, Profesor John yang merupakan Ketua Bidang Anak Disabilitas Netra mengungkapkan antusiasnya menyambut kerjasama dengan UAI. Menurutnya, jika perguruan tinggi di Indonesia seperti UAI mulai menawarkan pendidikan inklusif dari awal, itu akan sangat bagus.
“Memulai dari awal memberi kita kebebasan untuk berkontribusi dan kita berharap ini menjadi pilot project yang kemudian menjadi panduan bagi universitas lain di Indonesia,” kata John.
Selain berdiskusi dengan John, Elizabeth dan rekan-rekannya, tim guru muda UAI juga bertemu dengan alumni tunanetra, guru dari seluruh Inggris dan mengikuti pelatihan pengembangan materi pembelajaran bagi tunanetra.
Para guru muda UAI berkesempatan berbicara dengan perwakilan dari Communication, Access, Literacy and Learning (Call) Edinburgh, sebuah organisasi nirlaba yang merupakan unit MHSES yang mendukung anak-anak dan remaja penyandang disabilitas.
Para guru besar UAI pun tak luput mengikuti seminar “Dukungan sosio-emosional bagi mahasiswa tunanetra di pendidikan tinggi”, dan perbincangan dengan peneliti dari Australia tentang pendidikan inklusif di negaranya. Makan malam hangat di sebuah restoran di pusat kota Edinburgh menandai berakhirnya perjalanan studi ke kota yang memiliki lanskap arsitektur unik dan ikonik abad ke-15.
Di akhir kunjungan, John Ravenscroft dan Elizabeth McCann dijadwalkan berkunjung ke Indonesia pada pertengahan Mei 2024. Kehadiran mereka dalam rangka memberikan seminar dan pelatihan bagi para guru untuk membuat materi pembelajaran yang disesuaikan dengan penyandang disabilitas.
Mereka juga akan mendampingi UAI dalam menyusun policy brief kampus ramah tunanetra. “Ini harus menjadi pilot project bagi perguruan tinggi lain dalam membuat atau mengembangkan pedoman penerimaan mahasiswa disabilitas,” kata Cut Meutia Karolina.